Belajar Menjadi Bunglon yang Baik
Saya adalah peserta KKN PPM 2014, tepatnya di desa Deyah, Aceh Besar. Bagi saya, KKN adalah salah satu cara melatih keterampilan bersosialisasi dengan lingkungan baru. Kita dituntut untuk cepat belajar lalu beradaptasi. Dalam waktu yang sangat singkat, kita harus sudah bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Ini bukanlah hal yang mudah sebab tidak sedikit masyarakat yang susah menerima hal-hal baru. Perlu strategi dan pendekatan khusus! Belum lagi kita harus dihadapkan pada beberapa dari mereka yang menganggap mahasiswa adalah orang yang serba bisa.
Belajar yang dimaksud di sini tentu saja berbeda dengan proses belajar mengajar di kampus. Di desa-desa KKN, kita belajar budaya dan adat setempat lalu menyesuaikan diri dengannya. Kita belajar bagaimana cara menerima dan menolak tawaran dengan halus. Kita belajar bagaimana mengomunikasikan bahasa ilmiah ke dalam bahasa sehari-hari agar mudah dipahami. Kita belajar bagaimana mengatur waktu agar rencana bisa berjalan optimal, mengadakan agenda yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, mengurusi anak-anak yang selalu antusias, dan sebagainya. Singkatnya, kita belajar untuk menjadi masyarakat setempat.
Lain padang, lain belalang; lain lubuk, lain ikannya. Pepatah lama ini harus dipahami betul oleh setiap mahasiswa yang akan mengikuti program KKN. Ada beberapa daerah yang masih menabukan perempuan duduk di warung kopi, hal yang sudah tidak kita temukan lagi di Banda Aceh. Pun, masih ada daerah yang mengharamkan perempuan bercelana jeans dan laki-laki bercelana pendek tak menutupi lutut. Ini harus benar-benar diperhatikan agar kita bisa diterima dengan baik di desa tempat KKN. Kembali ke pepatah lama, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Hargailah adat dan budaya setempat meskipun itu membuat Anda ‘tersiksa’. Bukankah setelah menyelesaikan kuliah nantinya, Anda juga akan diterjunkan ke lingkungan masyarakat? Belajarlah menyesuaikan diri dari sekarang. Jadilah bunglon yang baik, rela mengubah warna kulit agar bisa berbaur dengan lingkungan.
Memang KKN bukanlah satu-satunya ajang melatih keterampilan sosial. Bagi mahasiswa aktivis, ada banyak kegiatan lain seperti bakti sosial, desa binaan, kunjungan ke panti asuhan dan sebagainya. Akan tetapi, karena tidak semua mahasiswa menjadi aktivis, maka penilaian saya KKN harus difokuskan kepada mahasiswa yang berstatus ‘kupu-kupu’ alias kuliah pulang-kuliah pulang. Tentu saja, setelah kegiatan-kegiatan baksos, desa binaan dan sebagainya itu telah ditinjau dan memenuhi standar KKN. Ini pernah dijanjikan oleh Pak Rusli Yusuf, mantan Pembantu Rektor III Unsyiah sewaktu melepaskan relawan baksos PEMA Unsyiah ke Aceh Timur 2012 lalu.
Yulifhirmarijal (Mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah)